Janda – Satu Kata dengan 1000 Lebih Makna

Menjadi Janda? Can You Die of a Broken Heart? 

Rasanya tidak tahu harus memulai darimana untuk menulis tentang satu kata “janda”. Hanya satu kata namun beribu mitos yang melingkupinya, tanpa sadar membuat saya menarik nafas panjang berulang kali – padahal tepat di sisi saya saat menulis suami saya sedang terlelap dalam tidurnya.  Satu kata, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya.

Janda, satu kata yang seharusnya sama statusnya dengan status yang nyaris serupa “duda”. Tapi entah kenapa menjadi janda rasanya jauh lebih menyakitkan karena  berbagai mitos yang melekat dalam pemaknaan kata janda di masyarakat kita. Sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua yang  oleh Barthes disebut dengan konotatif.

Pernahkah anda merasakan suatu ketika teman-teman anda mendadak menjaga jarak? Atau sahabat karib dari semasa SMA anda mendadak meletakkan jari telunjukkan saat dalam perjalanan pulang buka puasa bersama, karena searah anda nebeng ke mobilnya dan dia berkata sesudahnya,”Maaf ya, bisa pecah perang dunia kalau istriku sampai tahu aku nganterin kamu. Tahu kan istriku orangnya cemburuan,” ujarnya.

Pernahkah anda merasakan, suatu saat anda mendadak jadi kehilangan harga diri begitu drastis? Dengan mudah – maaf – orang mengajak “tidur bareng” meski hijab kita kenakan? Kekerasan simbolis bertubi-tubi itulah yang sempat terbayang begitu menakutkan hingga saya pun sempat meminta dipoligami saja daripada harus diceraikan. Tak hanya itu dengan tiga putri yang kala itu masih menjelang ABG dan masih balita bukan perkara yang mudah.  Meski saya seorang muslimah – namun kerap ajaran semasa saya kecil “apa yang satukan Tuhan tak bisa dipisahkan oleh manusia” bukan perkara yang mudah. Namun bukan hanya itu yang menyebabkan saya bersikukuh memilih dipoligami waktu itu – belasan tahun dibesarkan seorang Janda karena ayah saya meninggal dunia saat saya duduk dibangku SMA dan 3 putri saya merupakan alasan yang cukup kuat membayangkan betapa tidak enaknya menyandang status “janda cerai hidup”. Malang tak dapat ditolak, ketika status janda terpaksa disandang, demi “keamanan” saya tidak pernah merubah status di KTP saya ketika Pengadilan Tinggi Agama sudah mengeluarkan surat keputusannya. Hingga bertahun-tahun saya memilih tetap menjadi “istri” diatas kertas Kartu Keluarga dan KTP pria yang sudah menikah dengan wanita pujaan hatinya yang lebih muda 10 tahun dari saya dan mereka pun bahagia dengan kelahiran putri mereka. Menyakitkan? Tidak juga. Karena ada begitu banyak yang jauh lebih menyakitkan dari itu. Misalnya.. “Oh janda cerai ya.. pasti orangnya keras kepala..” atau “Oh janda cerai hidup ya,, pasti galak orangnya. Kalau ga ngapain suaminya pergi” atau “Janda cerai? Pasti orangnya ga bisa menghormati suaminya.” entahlah.. Can You Die of a Broken Heart? Bisik batin saya separuh menghibur. Tenang saja, hancurnya perasaan tidak akan membunuhmu bukan?

Hingga suatu hari…. satu persatu putri saya mendorong saya untuk menikah lagi. Ada menyodorkan album pernikahan saya dan ayahnya. Dia membuka satu persatu. “Mama nggak pengin nikah lagi? Asik lho Ma, kalau Mama nikah lagi, nanti pakai pakaian nikah yang lebih bagus dari ini Ma, pasti Mama cantik banget deh,” ujarnya. Lalu dua lainnya sengaja membuat masalah sehingga salah satu guru pria mereka terpaksa datang ke rumah. Bayangkan betapa gugupnya saya “terpaksa” menerima tamu laki-laki setelah sekian tahun rumah tidak dijamah tamu laki-laki. Senyum badung puteri-putri saya menyadarkan saya akan apa yang mereka harapkan. Belum lagi kedua orang tua saya yang terus menerus mendesak agar saya menikah lagi. “Anak-anak biar tinggal di Semarang aja. Orang serem kali kalau mau nikah sama kamu anaknya ngendeyot (:banyak beban hingga terhuyung) gitu,” usul Mami (almarhum waktu itu. Ustadzah demi ustadzah pun mengusulkan agar ketiga putri saya ikut ayahnya. “Karena menafkahi dan mengasuh tiga anak itu kewajiban ayah kandungnya dan istri si ayah, ” tegas mereka. Alasan lainnya banyak calon yang berminat memperistri saya tapi keberatan dengan ikutnya tiga putri saya.

Sementara menjadi janda adalah bermakna menerima “tikaman” demi “tikaman”. Tikaman yang paling menyakitkan adalah ketika keluarga besar menghubungkan dengan pilihan hidup saya terdahulu “Tuh kan, bener. Kalau masuk Islam ya begitu.. dipoligami, dicerai,” tutur seorang Bude yang sangat dekat dan sayang kepada saya. Saya sempat tinggal beberapa lama di rumah bude saya sebelum menikah. Semua karena makna konotatif yang jauh melampaui makna sebenarnya yaitu bercerai atau karena suaminya meninggal dunia.

Tapi itu dulu.. sekarang saya berhasil melepas status dengan 1000 lebih kisah duka itu – setidaknya hanya 2 hari saya berstatus “janda cerai hidup” di KTP saya. Tanggal 28 hari Jumat saya berhasil mengurus perubahan status menjadi “janda cerai hidup” dan Hari Minggu tanggal 30 saya melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang usianya 15 tahun lebih muda dari saya. Ups.. kembali lagi.. ternyata stereotype pria lebih menyukai daun muda tidak mutlak kebenarannya ya. Tapi tak berarti saya terlepas dari mitos-mitos yang mengerikan yang terbangun di benak mayoritas masyarakat. Contohnya ketika mendadak seorang pejabat mendadak memanggil saya dengan nada mengoda,”Pantes saja selama ini kamu anteng.. Nggak taunya kamu sukanya daun muda..” atau Mendadak seorang Ibu-ibu pejabat di kantor saya memanggil untuk berbincang-bincang dua mata,”Mbak yakin tidak membahayakan ketiga Putri Mbak dengan menikah dengan laki-laki yang 15 tahun lebih muda dari Mbak? Bayangkan selisih usia dengan anak tertua saja lebih dekat lho Mbak,” nasehatnya.  Kalimat “menikah dengan pria lebih muda 15 tahun” sebenarnya biasa saja jika tidak ada makna konotatif yang mendominasi pemikiran kita.

Pada akhirnya, saya hanya mampu bersyukur ketika melihat tawa merekah dari ketiga puteri saya.  Atau ucapan puteri pertama saya,”Woles aja kali Ma. Iya sih kakak diomongi, Papa kamu masih muda banget yah.. cuek aja kali,” katanyu.a. Berulang kali penugasan dari sekolah, puteri saya woles mencantumkan tanggal lahir suami saya lengkap dengan foto sebagai salah satu anggota keluarga. Mulai dari tugas bahasa Jepang, bahasa Inggris dan entah tugas apalagi. Saya pernah sekali menanyakan hal itu kepadanya. “Nggak masalah kah kak mencantumkan Pome (begitu anak-anak memanggil suami saya) dan tanggal lahirnya.?” tanya saya. “Dih mama apaan sih pake nanya gitu. Ya nggak masalah lah.. Pome kan memang suami Mama, ya anggota keluarga intilah. Wajib dimasukkan.Kakak malah berharap kelak kalau punya suami bisa sebaik Pome,” sahut bocah cepat.

Makna kata janda, bagi banyak orang bisa jadi bermakna negatif. Tapi bagi saya makna kata janda mengandung makna kekuatan yang tiada pernah mampu kita bayangkan. Perceraian sampai kapan pun akan menjadi momok yang menakutkan bagi wanita. Bukan karena sekedar makna berpisah – atau menjadi sendiri melainkan berbagai diskriminasi hingga pelecehan seksual sekalipun itu “hanya” berbentuk kata.

Lantas…. bagaimana kita sebagai pembaca memberikan makna kata “janda” saat ini? Meminjam kerangka berpikir Roland Barthes, konotasi identik dengan ‘mitos’ yang berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos tersebut dibangun oleh suatu rantai pemberian makna yang telah ada sebelumnya atau yang disebut dengan sistem pemberian makna tataran kedua.

Apakah anda masih meletakkan stereotype negatif begitu mendengar kata janda? Ataukata apa yang berikutnya melintas dalam pemikiran kita begitu mendengar kata janda? Apakah yang terlintas berikutnya kalimat janda kembang, janda genit – atau kata lain misal dalam bahasa jawa misalnya yang terlintas kata rondo royal (janda yang kaya dan mudah memberikan harta) yang sebenarnya merupakan penyebutan salah satu makanan tradisional Jawa dari tape berisi coklat atau gula jawa.

Tidak heran jika kata berikut yang menyertai kata janda dalam ingatan kita adalah kata kembang. Jika kita mengeksplorasi peran media terhadap penggambaran terhadap pengetahuan mengenai minoritas dalam hal ini janda – maka peran media selain memori kolektif yang diwariskan turun temurun tanpa disadari termasuk melalui budaya adalah salah satu penyebab melekatnya stigma negatif tentang janda. Tenggoklah begitu banyak judul film tentang janda yang identik dengan genit dan berbagai stigma negatif lainnya.

Foto: Judul Bioskop Tentang Janda

janda

Tidaklah mengherankan apabila stereotype negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas telah melekat dalam memori kita semua. Stereotype tersebut telah menjadi apa yang kita sebut di atas sebagai memori kolektif. Karena itu sudah saatnya kita memeriksa akar gambaran minoritas – baik itu janda – maupun kelompok minoritas lain yang kita miliki masing-masing. Bagaimana jika suatu hari suami kita pergi satu mobil berdua dengan seorang janda misalnya? Atau bagi kita yang memiliki anak laki-laki dewasa – single dan mapan mendadak menyatakan keinginannya ingin menikahi janda cerai 3 anak dengan anak-anak ABG hingga masih kecil? Apa yang kita pikirkan?

them
Suami dan anak-anak, ange-ange orong-orong hehe..

Ada begitu banyak mitos dalam kehidupan kita. Mitos tersebut bekerja dengan sangat halus sehingga menimbulkan kesan yang benar- benar alami seperti misalnya dalam budaya Jawa ada istilah Angge Angge Orong Orong yang juga terus dimasyarakatkan melalui tembang campur sari Didik Kempot dan dalam dangdut koplo. Berikut ini lirik tembang campur sarinya:

Angge-angge orong-orong.  Ora melok nggawe melok momong (Angge Angge Orong Orong – tidak ikut bikin ikut momong).  Rondo randane ompong (jandanya Ompong)Nduwe anak sak gede kingkong (Punya anak sebesar Kingkong). Terbayangkan bagaimana teropresinya saya ketika mendengar lagu itu sengaja ditujukan kepada saya? Ironisnya lagu itu saya ketahui ketika salah seorang janda, kaya (:setidaknya jauh lebih kaya dari saya karena ia memiliki rumah mewah dan memiliki tempat fitness center) sengaja mengunggah lagu itu untuk saya. Maklum memang begitulah adanya – ada salah satu putri saya yang bertubuh sangat bongsor. Begitulah mitos – mitos yang kemudian memberikan makna konotatif atau makna dalam tataran kedua pada satu kata atau kalimat. Janda bukan lagi sekedar berarti wanita yang bercerai dengan suaminya atau wanita yang suaminya meninggal dunia.

Bahan Bacaan:

Mythology – Roland Barthes, New York: The Noonday Press, 1972.

#SIK041

9 thoughts on “Janda – Satu Kata dengan 1000 Lebih Makna

  1. Sulit sekali memahami situasi yang di alami mba handrini, dari sisi emosionalnya bagi orang-orang seperti aku, karena aku sendiri belum pernah menikah sebelumnya. Tapi, semoga dengan mempelajari semua ini, setidaknya kita bisa belajar untuk menerima, menoleransi perbedaan-perbedaan, serta tidak menjudge seseorang tanpa dasar karena sesuatu itu jauh lebih kompleks dari sekedar apa yang terlihat.. semangat terus mba handri, dan tetap tegak berdiri ya 😊

    Liked by 1 person

    1. it’s so painfull.. Pernah suatu saat ketika dua anak saya sakit parah mendadak tengah malam pergi naik taksi karena kedua anak sakit eh digoda.. Repotnya lagi saya sebelumnya memiliki lebih banyak sahabat laki-laki daripada sahabat cewek.. kebayangkan harus mendadak “sendiri” meski tidak sepenuhnya karena ada juga satu sahabat yang memilih memberi pengertian ke istrinya dan mengajak istrinya ikut bareng-bareng ketemuan untuk makan hehe.. Ironisnya bentuk opresi terhadap status janda justru lebih sering diterima dari pria yang memiliki jabatan di kantor saya sendiri.. menarik bukan? tingginya pendidikan tak berbanding lurus dengan tingginya SQ

      Liked by 1 person

  2. Mitos-mitos ini memang seringkali bikin gerah ya, herannya betul seperti apa yang mba handri bilang, ga lantas orang-orang yang berpendidikan pun bisa melihat hal tersebut dengan lebih jernih. Karena banyak juga yang termakan mitos yang ada, baik betul-betul termakan hingga sangat percaya, ataupun juga menggunakannya untuk candaan yang sebetulnya jauh dari kata lucu. Mengutip apa yang coba Judith Butler katakan dalam bahan bacaanku yang kufahami, hal-hal tersebut bisa dipatahkan dengan sebuah performa yang mendobrak kesadaran orang akan mitos-mitos yang ada. Dan kukira mba sudah melakukan hal itu, dengan berani mengambil berbagai keputusan yang ‘berisiko’ untuk jadi bahan pembicaraan masyarakat umum, lantas membuktikannya bahwa semua mitos itu hanya imajinasi belaka. Totally inspiring!

    Liked by 1 person

  3. Terima kasih Hani..memang tidak mudah membuka apa yang selama ini ingin dianggap tidak pernah terjadi. Judith Butler benar adanya bahwa dengan memunculkan performa yang mendobrak kesadaran orang akan mitos-mitos yang ada termasuk salah satu upaya untuk meruntuhkan mitos-mitos yang merugikan kelompok yang diminoritaskan dalam hal ini Janda. Ada salah satu film Jodie Foster yang saya suka, Menjadi janda – dalam kajian pada hari-hari pertama biasanya diasumsi sebagai satu kondisi dapat menghilangkan kesadaran logika. Itulah yang juga digambarkan dalam film Jodie Foster yang dalam film itu suaminya baru saja meninggal karena bunuh diri dan ketika dia melaporkan kehilangan putrinya, semua beranggapan dia gila. Untungnya Jodie Foster cerdas, penuh daya juang demi menyelamatkan putrinya. Kecerdasan Jodie Foster itu digambarkan dalam film karena dia ikut merancang pesawat berbadan lebar tsb sehingga mengenal setiap celah ruang pesawat. Kecerdasan tokoh yang diperankan Jodie Foster tsb juga digambarkan dengan keberhasilannya menemukan, menyelamatkan putrinya dan membuktikan bahwa suaminya bukan bunuh diri tapi dibunuh. Kehilangan sesrorang/pasangan hidup dengan alasan apapun juga tak boleh membuat wanita lemah dan kehilangan logika – setidaknya itulah pelajaran yang saya ambil dalam film tsb..

    Like

  4. Pengalaman hidup yang luar biasa.. Salut dengan mba handri yang kuat menghadapi. Senang juga mba handri mau dan berani berbagi cerita yang begitu personal, karena melalui tulisan mba handri ini mampu menjadi pembelajaran publik mengenai pemaknaan janda dari sudut pandang janda itu sendiri, bukan hanya dari sudut pandang masyarakat mayoritas yang lengkap dengan stereotype-stereotype yang dibentuk dan beredar diluar sana mengenai janda..

    Like

  5. Mbak, aku jadi gloomy baca tulisan ini…
    Bukan karena cerita mbak handri di awal, tapi lebih kepada aku sendiri yg merasa masih belum bisa memahami orang lain… Selama ini masih yg susah nyerna tentang orang lain, masih kemakan mitos ttg sesuatu, bahkan berdebat karena sebuah pandangan yang berbeda dengan aku.
    Pr besar untuk membuat pandangan kita tidak mengopresi orang lain atau setidaknya tidak pada diri sendiri

    Liked by 1 person

  6. Wah saya menjadi ikut merenung, membayangkan berada di posisi mba handri…Salut buat mbak handri yg bisa melewati masa-masa itu. Susah memang yah melepas mitos-mitos yang dimiliki jika kita hanya melihat dari sisi luarnya saja.

    Liked by 1 person

  7. Salut untuk mbak Handrini! Salut, karena ada keberanian dari mbak Handrini untuk menyampaikan hal yang sifatnya sensitif, hal yang pernah menjadi permasalahan pribadinya. Saya juga merasakan adanya opini di masyarakat bahwa makna ‘janda’ itu terasa lebih negatif daripada makna ‘duda’, terlebih bila ‘janda’ itu menikah dengan laki-laki yang usianya jauh lebih muda dari ‘janda’, maka dia akan lebih teropresi lagi (teropresi secara berlapis) oleh masyarakat, dan saya merasa kecewa dengan opini liar yang berkembang di masyarakat tersebut. Oleh karena itu, memang dibutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya mbak Handrini, dan hal itu saya lihat sudah terlihat ketika membaca artikelnya mbak Handrini, syukurlah!
    #041, #SIK041

    Liked by 1 person

    1. Terima kasih banyak untuk apresiasinya Mas. Iya bahkan di kantor saya masih dipanggil sebagai istri dari mantan suami saya atau masih dipanggil dengan sebutan mantunya dari ayahnya bapaknya anak-anak saking saya tidak sanggup teropresi dengan stigma berlapis janda yang dilakukan lingkungan terdekat di kantor saya.. Bahkan saya tidak berani merubah status perkawinan di KTP.

      Like

Leave a comment